Jakarta, Bicaranusantara.com
Bertempat di media center Persekutuan gereja gereja di Indonesia (PGI) Jakarta Rabu 11/9/2024, Mangitua Ambarita, Mersi Silalahi, dan Marta Manurung, masyarakat adat dari Sihaporas dan Dolok Parmonangan, Simalungun, Sumatera Utara, telah 3 minggu berada di Jakarta, untuk memperjuangkan hak-haknya atas tanah adat yang telah diberikan secara sepihak oleh pemerintah kepada PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Ketua Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak Jhontoni Tarihoran, yang mendampingi ketiganya antaranya Mersi Silalhi, Mangitua Ambarita dan Marta Manurung, mengungkapkan selama 3 minggu itu telah mendatangi lembaga terkait lantaran meski telah menyampaikan laporan terkait persoalan ini ke Pemkab Simalungun. namun belum ada respon.
Ketiga masyarakat adat dari Sihaporas dan Dolok Parmonangan, Simalungun, Sumatera Utara, telah 3 minggu berada di Jakarta, untuk memperjuangkan hak-haknya atas tanah adat yang telah diberikan secara sepihak oleh pemerintah kepada PT Toba Pulp Lestari (TPL).
“Kami sudah sampaikan masalah ini ke Pemkab Simalungun tapi belum di respon. Itulah sebabnya kami datang ke Jakarta untuk memohon dukungan dari beberapa lembaga kementrian dan instansi,” ujar Jhontoni tegasnya.
Menurutnya, jika persoalan ini dibiarkan, situasi akan semakin sulit, dan berdampak termasuk kepada anak-anak dan perempuan, juga terjadi penggundulan hutan di sekitar Danau Toba. Sebab itu, perjuangan pengakuan atas hak masyarakat adat ini menjadi tanggungjawab bersama, termasuk para perantau. Padahal, dengan melindungi hak adat sesungguhnya akan memberikan dampak nyaman dalam investasi.
Pada kesempatan itu, Mersi Silalahi menyampaikan harapan agar persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas, dan Keturunan Ompu Umbak Sialagan di Dolok Parmonangan, dapat digaungkan dan keadilan segera didapatkan.
Perempuan Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas ini mengaku, selain tekanan fisik, tetapi juga mental dialami bersama keluarga akibat penahanan sang suami Thomson Ambarita (46) di Polres Simalungun, atas tuduhan pembakaran hutan.
“Suami saya ditahan untuk keduakalinya di Polres Simalungun hingga sekarang, tanpa surat penangkapan, subuh ditangkap. Sudah 3 Minggu saya di Jakarta meninggalkan anak-anak tanpa tau bagaimana mereka ke sekolah. Kami mengalami tekanan mental karena bapaknya di penjara sementara ibunya masih di Jakarta. Ada yang mau membebaskan bapak dan saudaranya malah menerima kekerasan dari aparat,” paparnya, sambil sesekali menyeka air mata.
Hal senada juga diungkapkan Martha Manurung. Menurutnya leluhur mereka telah lama ada di Dolok Parmonangan, dan menempati tanah adat di sana. Diapun tegas melihat bahwa PT TPL adalah musuh mereka.
“Tidak ada musuh selain TPL karena tidak memberikan kami menggarap tanah adat kami. Sorbatua Sialagan ditangkap dengan tuduhan yang tidak masuk akal. Sebab itu, kami ke Jakarta memohon kepada negara agar ada pembelaan karena kami hanya mempertahankan hak-hak kami,” tegasnya.
Dalam siaran persnya yang diberikan kepada awak media, AMAN Tano Batak menjelaskan, bahwa akses masyarakat adat terhadap tanah adat telah hilang, juga dampak dari aktivitas perusahaan mengakibatkan kerusakan yang masif di atas wilayah adat, seperti pencemaran sumber mata air, tempat sakral untuk melakukan ritual adat dan hutan-hutan yang selama ini menjadi sumber obat-obatan telah berganti menjadi tanaman eukaliptus milik PT. TPL.
Menurut AMAN Tano Batak, kisah ini sebenarnya hanya sebagian kecil dari konflik yang di hadapi oleh masyarakat adat di Tano Batak, yang berusaha untuk mempertahankan tanah adatnya dari praktik perampasan yang di lakukan oleh perusahaan PT. TPL.
Berbagai upaya terus dilakukan komunitas masyarakat adat, namun belum mendapat solusi atas persoalan tersebut. Mulai dari tingkat pemerintah Daerah, Provinsi sampai Kementerian dan Presiden sudah mereka jalani untuk mendapat tanggapan, namun jalan itu belum membuahkan hasil.
Pengakuan dan Perlindungan terhadap masyarakat adat menjadi barang yang mahal. Pada sisi lain yang terjadi adalah penangkapan paksa, intimidasi dan jerat kriminalisasi menghantui Masyarakat Adat ketika berusaha mempertahankan tanah adatnya dari aktivitas perusahaan PT. TPL.
Demikian juga perempuan adat dan anak-anak tidak luput menanggung beban berat atas situasi yang terjadi. Diantaranya ada yang mengalami kekerasan dan trauma mendalam. Orang tua dan anak menjadi terpisah, karena penjara ataupun berjaga atas wilayah adat. Ada anak yang terpaksa menunda melanjutkan pendidikan karena terkendala biaya setelah orangtuanya dipenjara.
AMAN Tano Batak menegaskan bahwa pengakuan, perlindungan dan penghormatan atas hak-hak masyarakat adat oleh negara merupakan hal yang sangat mendesak untuk dilakukan. Selain itu, memastikan masyarakat adat dapat mengelola wilayahnya dengan lestari sesuai dengan kearifan yang dimiliki. Memastikan masa depan generasi penerus dan bumi yang lebih baik. (Red)