Jakarta, Bicaranusantara.com
Masa depan Papua masih diselimuti kabut ketidakpastian. Konflik berkepanjangan dan berbagai persoalan kompleks terus membayangi, meninggalkan luka mendalam bagi rakyat Papua. Di tengah situasi yang memprihatinkan ini, muncul pertanyaan krusial: Apakah pembangunan di Papua telah berjalan di jalur yang tepat?
Acara coffee morning yang diselenggarakan oleh Aliansi Perdamaian dan Keadilan (PEREKAD) bersama Biro Papua PGI, menghadirkan para pakar dan tokoh agama untuk membahas solusi bagi Papua. Diskusi bertajuk “Melangkah Maju: Bersama Membangun Perdamaian dan Keadilan di Papua” ini membuka tabir kelam yang menyelimuti Tanah Papua. Acara dipandu oleh Ashiong P. Munthe Ketua Litbang Pewarna Indonesia.
Salah satu pembicara, Pdt. Ronald kepala Biro Papua PGI, mengungkapkan kekhawatirannya tentang “generasi kebencian” yang lahir di Papua. Konflik berkepanjangan telah meninggalkan trauma dan luka mendalam, menumbuhkan rasa permusuhan dan ketidakpercayaan di antara masyarakat.
“Sudah saatnya kita melangkah maju,” tegas Djasarmen Purba, S.H., Ketua Umum Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI). Dia menyerukan agar semua pihak bersatu padu untuk membangun perdamaian dan keadilan di Papua.
Namun, jalan menuju perdamaian tidak akan mudah. Ada banyak persoalan yang perlu diurai dan diselesaikan. Salah satunya adalah soal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang masih marak terjadi di Papua.
“Masalah kebijakan tidak menyentuh HAM di Papua, karena kondisi pejabatnya banyak yang korupsi,” ungkap Yohanes Handoyo Budhisejati, Ketua Umum Vox Point Indonesia. Dia pun mempertanyakan efektivitas pembangunan yang belum menyentuh seluruh masyarakat hingga ke pelosok desa.
Kritik pedas juga dilontarkan terhadap pemekaran wilayah Papua menjadi enam provinsi. “Pemekaran untuk siapa? Penduduk asli Papua tidak mencapai 2 juta,” tandas Brigjen TNI (Purn) Drs. Harsanto Adi S, M.M., M.Th., Ketua Umum Asosiasi Pendeta Indonesia (API).
Pemerintah didesak untuk mengubah pendekatan keamanan di Papua. Menurut Pdt. Ronald, pendekatan militer tidak lagi efektif dan hanya akan memperparah situasi. “Harus dilakukan investasi kepada generasi-generasi yang baru saat ini. Mereka harus diberikan peluang dan kesempatan,” ujarnya.
Jus Felix dari Vox Point Indonesia menambahkan, “Transformasi sosial publik jauh dari harapan, apalagi mengenai perdamaian.” Dia menekankan pentingnya dialog dan komunikasi yang terbuka untuk membangun kepercayaan dan saling pengertian.
Sedangkan Ketua umum Perhimpunan Profesi Hukum Kristiani Indonesia Michael Hutagalung menegaskan bahwa pendidikan itu solusi yang tepat untuk menjawab persoalan Papua, sekalipun memang membutuhkan waktu yang lama. Namun, seperti pengalamannya melihat langsung proses pendidikan di ADEM ternyata anak-anak Papua mampu untuk bersaing dengan anak-anak Indonesia lainnya, sekalipun memang butuh ketelitian dan kesabaran dalam memberikan pendidikan.
“Perlu ada penangan dan pendampingan Pendidikan untuk bisa membuat Putra Asli Papua supaya punya kepercayaan diri dan mampu bersaing dengan masyarakat di luar Papua,” kata Yusuf Mujiono, Ketua Umum Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA INDONESIA).
Diskusi ini menjadi pengingat keras bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan bahwa Papua membutuhkan solusi yang komprehensif dan berpihak pada rakyat. Pembangunan di Papua harus berfokus pada keadilan, perdamaian, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hanya dengan itu, Papua dapat melangkah maju menuju masa depan yang lebih cerah. (Redaksi)