Jakarta, Bicaranusantara.com
Praktisi hukum dan pendiri Law Institute 98 Dr. Muhammad Anwar S.H. M.H meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah bisa menghentikan penyidikan bila merasa tidak cukup bukti.
“Ingat, KPK sudah berwenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari proses hukum yang sedang berjalan apabila diduga ada malaadministrasi. Sehingga, bila proses hukum acara ada yang dilanggar dan kalau memang tidak ada cukup bukti, KPK bisa keluarkan SP3 dan itu biasa menurut hukum,” kata Anwar yang pernah menangani perkara dugaan kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) DP Rp0 di era Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Anies Baswedan itu.
Dia mengajak agar kasus ini menjadi sebuah wacana publik yang terbuka. “Semua ini untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum dan kemanfaatan, khususnya bagi masyarakat Riau.”
Pada 3 November, KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) di Riau terkait Abdul Wahid. Dan pada 4 November, KPK mengumumkan telah menyita 9.000 pound sterling dan US$3.000 dari rumah Abdul Wahid di Jakarta. Pada Rabu (5/11),
KPK menetapkan Abdul Wahid, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPRPKPP) Riau M Arief Setiawan (MAS), dan Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M Nursalam (DAN) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.
Anwar menjelaskan, dasar hukum OTT adalah Pasal 1 Ayat 19 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang syarat mutlak tertangkap tangannya seseorang adalah alat bukti ditemukan pada saat tangkap tangan.
“Lalu kemudian, bagaimana dengan KPK? KPK di Pasal 12 Undang-Undang (UU) KPK mengatakan, istilah OTT syaratnya harus ada proses penyadapan dan penjebakan dengan syarat harus ada dua alat bukti, baru kemudian dilakukan target siapa yang akan dilakukan penangkapan atau OTT. Namun, ada syarat internal yang harus dilakukan itu melalui Dewan Pengawas (Dewas),” kata Anwar.
Menurut Anwar, Standar Operasional Prosedur (SOP) itu tidak boleh dilanggar. Sebab, pelanggaran SOP sama saja membuat proses OTT bisa dikatakan cacat hukum. “Kenapa demikian? Karena ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan dua alat bukti mutlak harus dilakukan kepada seseorang yang mau ditarget untuk dilakukan OTT oleh KPK,” jelasnya.
“Apabila syarat mutlak ini tidak dilakukan, dipastikan dan diduga sangat kuat OTT itu bisa bermasalah dan akan berdampak fatal kepada proses hukum,” tegasnya.
Ia mencontohkan, OTT terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid sudah pasti tidak bisa dipakai dengan KUHAP Pasal 1 Ayat 19. “Karena pada saat tertangkapnya Gubernur Riau Abdul Wahid, tidak ada barang bukti yang ada pada Abdul Wahid. Berarti memakai Pasal 12 UU KPK. Apakah dilakukan proses penyadapan dan penjebakan?” tanyanya.
“Nah, ini yang kita tidak tahu. Apakah dilakukan satu gelar atau penyampaian kepada Dewas? Itu juga kita tidak tahu. Selama ini, KPK hanya mengatakan, ada dugaan pemerasan. Adapun saat OTT tidak didapati barang bukti uang di lokasi. Padahal, temuan uang di lokasi OTT merupakan bukti langsung atau direct evidence. Bukan bukti indirect,” paparnya.
Sehingga, sambung Anwar, berbeda dengan OTT lain, di kasus Abdul Wahid tidak ditemukan barang bukti di dirinya. Di mana, OTT yang berlangsung di Riau, sedangkan KPK menemukan Rp750 juta di rumah Abdul Wahid di Jakarta Selatan.
“Nah, ini lah yang harus diperhatikan. Apakah sudah sesuai prosedur atau tidak? Maka, hal ini yang menjadi perhatian bagi kita semua,” kata dia.
Adapun OTT terhadap Abdul Wahid, menurut dia, sudah pasti tidak bisa dipakai dengan KUHAP Pasal 1 Ayat 19. “Karena pada saat tertangkapnya Gubernur Riau Abdul Wahid, tidak ada barang bukti yang ada pada Abdul Wahid. Berarti memakai Pasal 12 UU KPK. Apakah dilakukan proses penyadapan dan penjebakan?” tanyanya.
Panggil saksi
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo pada Kamis (20/11), membenarkan pemeriksaan Sekretaris Daerah Riau Syahrial Abdi maupun Sekretaris Dinas PUPRPKPP Riau Ferry Yunanda pada Rabu (19/11) terkait dugaan pemerasan di lingkungan Pemprov Riau.
Pemanggilan untuk mendalami bagaimana konstruksi dugaan tindak pemerasan.
Selain itu, Budi mengatakan baik Syahrial Abdi, Ferry Yunanda, atau lima saksi lainnya dipanggil mengenai dugaan pemotongan anggaran hingga gratifikasi yang dilakukan para tersangka kasus dugaan korupsi terkait pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025. (Red)
