Resensi Buku
Judul : PKUB dan Paradoks Kerukunan (2019–2024)
Analisis Kritis atas Tata Kelola, Kesenjangan Data, dan Reformasi Kebijakan Kebebasan Beragama
Penulis: Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si.
Penerbit: PWGI.ORG (Self-Published)
Tahun Terbit: 2025
Tebal: ±180 halaman
Menelanjangi “Kerukunan” sebagai Narasi Politik dan Birokrasi
Buku PKUB dan Paradoks Kerukunan menyoroti sisi lain dari wajah kerukunan umat beragama di Indonesia, sebuah wajah yang selama ini tampak tenang di permukaan, namun menyimpan kontradiksi mendalam di bawahnya. Dalam karya ini, Dr. Dharma Leksana tidak sekadar mengumpulkan data dan statistik, melainkan membedah logika kebijakan yang mengatur relasi antariman di negeri ini.
Karya ini lahir dari pengamatan jeli terhadap kinerja Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama selama periode 2019–2024. Ia menyoroti paradoks tajam: Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) versi pemerintah menunjukkan tren naik, sementara pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) justru meningkat signifikan menurut data SETARA Institute, Komnas HAM, dan lembaga HAM internasional.
Bagi Dr. Dharma, inilah “paradoks kerukunan”: harmoni yang dikelola dengan bahasa survei dan persepsi publik, tetapi gagal menyentuh akar diskriminasi dan ketidakadilan yang nyata di lapangan.
Kerangka Analisis: Dari Data ke Dekonstruksi Kebijakan
Buku ini ditulis dengan disiplin akademik yang kuat, tetapi disampaikan dengan gaya naratif yang bisa diikuti pembaca umum. Struktur argumentasinya rapi. Setiap bab membangun jembatan antara teori, data empiris, dan refleksi kritis.
Bagian awal membentangkan konteks kebijakan Moderasi Beragama yang menjadi kerangka utama Kementerian Agama dalam lima tahun terakhir. Namun, alih-alih menelan narasi resmi begitu saja, penulis justru mempertanyakan efektivitasnya. Ia mengungkap bahwa program-program seperti dialog lintas iman atau pelatihan moderasi kerap berhenti pada level simbolik, lebih banyak menghasilkan laporan kegiatan ketimbang resolusi konflik yang nyata.
Bab-bab selanjutnya menyoroti dua aspek yang jarang disentuh dalam literatur kebijakan agama di Indonesia:
- Kritik terhadap tata kelola dan transparansi PKUB.
Penulis menunjukkan bahwa tidak ada data publik yang mengaitkan realisasi anggaran (DIPA PKUB) dengan hasil nyata berupa penurunan konflik atau pelanggaran KBB. - Analisis kritis atas regulasi kunci, PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
Regulasi ini disebut sebagai “sumber laten diskriminasi” karena mempersyaratkan izin sosial (rekomendasi FKUB) dalam pendirian rumah ibadah, yang pada praktiknya sering digunakan untuk memveto hak kelompok minoritas.
Dharma Leksana menyajikan data korelasi antara Indeks KUB dan pelanggaran KBB secara tahun per tahun, dengan hasil yang menohok: ketika indeks persepsi naik, justru insiden pelanggaran meningkat. Artinya, harmoni yang diklaim pemerintah lebih bersifat semu daripada substantif.

Reformasi yang Diperlukan: Dari Moderasi ke Keberanian Struktural
Buku ini tidak berhenti pada kritik. Di bagian akhir, penulis mengajukan enam rekomendasi kebijakan yang konkret dan visioner, di antaranya:
- Membangun dashboard publik nasional KBB agar data persepsi dan fakta bisa dibandingkan secara transparan.
- Mengubah paradigma evaluasi dari output-based (jumlah kegiatan) ke outcome-based (penurunan konflik faktual).
- Mengintegrasikan program PKUB ke dalam Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) 2025–2029, agar isu kerukunan tidak hanya menjadi urusan birokrasi agama, tetapi juga agenda nasional hak asasi manusia.
- Melakukan revisi total PBM 9/8 Tahun 2006, dengan meniadakan kewenangan veto FKUB atas pendirian rumah ibadah.
Melalui gagasan tersebut, Leksana menegaskan perlunya keberanian politik dan kejelasan etik dalam merombak kerangka hukum yang diskriminatif. Ia memandang bahwa kerukunan sejati hanya akan terwujud bila negara berpihak pada keadilan substantif, bukan sekadar harmoni administratif.
Nilai dan Kontribusi Buku Ini
PKUB dan Paradoks Kerukunan bukan hanya kajian akademik, tetapi juga cermin sosial-politik yang menggugah. Ia menantang pembaca untuk berpikir ulang tentang makna “kerukunan” di tengah demokrasi yang plural.
Kelebihan utama buku ini terletak pada tiga hal:
- Kejelasan konseptual dan kedalaman data. Penulis memadukan sumber resmi pemerintah dengan temuan lembaga independen, menciptakan gambaran yang objektif dan berimbang.
- Keberanian kritik. Kritik diarahkan bukan untuk menjatuhkan lembaga, tetapi untuk memulihkan fungsinya sebagai penjaga konstitusi dan pelindung hak warga negara.
- Keterhubungan lintas disiplin. Penulis mengaitkan isu KBB dengan teologi, sosiologi, hukum, dan kebijakan publik, menunjukkan bahwa kerukunan bukan sekadar isu agama, tetapi juga etika sosial dan tata kelola negara.
Kelemahannya, jika bisa disebut demikian, adalah padatnya referensi dan istilah teknis yang mungkin menantang bagi pembaca non-akademik. Namun justru di situlah kekuatan buku ini , ia tidak menurunkan standar intelektualnya, melainkan mengajak publik untuk naik kelas dalam memahami kebijakan keagamaan.
Penutup: Dari Harmoni Semu ke Keadilan Nyata
Buku ini memberi ruang bagi renungan mendalam: apakah yang kita sebut “rukun” benar-benar lahir dari kedewasaan iman dan demokrasi, atau hanya hasil rekayasa statistik dan seremoni dialog?
Dr. Dharma Leksana mengingatkan bahwa tanpa keadilan, kerukunan hanyalah topeng moral yang menutupi luka sosial. Maka, tugas PKUB dan seluruh elemen bangsa bukan sekadar menjaga harmoni, tetapi memastikan bahwa setiap warga, apapun imannya, mendapat hak untuk beribadah, berpikir, dan hidup tanpa takut.
Dengan argumentasi yang tajam namun berimbang, PKUB dan Paradoks Kerukunan layak dibaca oleh pembuat kebijakan, akademisi, pemuka agama, dan siapa pun yang peduli pada masa depan demokrasi dan pluralisme Indonesia.
