QUO VADIS ORMAS DI INDONESIA: WKPUB dan PWGI Berkiprah, Negara Tidak Mampu Hadir Mendampingi?
Pendahuluan
Di tengah dinamika sosial, politik, dan keagamaan Indonesia yang terus bergerak, peran organisasi masyarakat (ormas) menjadi penyangga penting kehidupan berbangsa. Mereka hadir di wilayah yang kerap tak tersentuh oleh negara—menyapa rakyat kecil, mendidik, mengobati, membangun jembatan kerukunan, dan menjaga bara moral bangsa agar tak padam.
Namun, pertanyaan yang kian mengemuka adalah: di mana negara ketika ormas-ormas seperti WKPUB dan PWGI bekerja tanpa pamrih? Mengapa lembaga-lembaga yang sudah puluhan tahun mengabdi, justru berjalan sendiri tanpa sokongan nyata dari pemerintah?
WKPUB dan PWGI: Dua Kiprah, Satu Nafas Pelayanan
Wadah Komunikasi dan Pelayanan Umat Bersama (WKPUB) berdiri sejak tahun 1999 sebagai ormas sosial-keagamaan yang berkomitmen pada kerukunan, pelayanan lintas iman, dan pemberdayaan masyarakat. Selama hampir tiga dekade, WKPUB hadir di lapangan: menggalang aksi kemanusiaan lintas agama, memperkuat spiritualitas sosial, dan menjadi jembatan moderasi beragama.
Sementara itu, Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI) mengemban misi berbeda namun seirama: menjadi pilar keempat demokrasi, “jurnalis Pancasila” yang menyuarakan nilai moral, kebenaran, dan keadilan sosial. PWGI bukan sekadar lembaga profesi, tetapi juga hati nurani publik—menyuarakan berita dengan integritas iman dan tanggung jawab sosial.
Dua ormas ini mewakili dua arus besar yang kini langka di ruang publik: pengabdian spiritual dan profesionalisme moral.
Ormas: Penjaga Nilai, Penopang Peradaban
Dalam teori sosial modern, ormas berperan sebagai intermediary institution—penengah antara rakyat dan negara. Ketika birokrasi gagal menjangkau akar rumput, ormas-lah yang tetap bertahan di lapangan.
Di Indonesia, peran ormas keagamaan terbukti penting:
- Menyediakan pendidikan dan pencerahan moral bagi masyarakat.
- Menjadi pusat pemberdayaan ekonomi dan sosial.
- Menumbuhkan moralitas publik dan karakter kebangsaan.
- Menjaga kerukunan dan persatuan antarumat beragama.
- Berkontribusi langsung dalam pembangunan nasional.
Namun, ironi muncul ketika kerja-kerja besar itu tidak mendapatkan dukungan struktural. Banyak ormas—termasuk WKPUB—yang berjalan dengan dana mandiri, swadaya umat, dan semangat pelayanan. Negara seolah hadir hanya ketika ada sorotan media, bukan dalam pendampingan nyata.
Negara dan Tanggung Jawab yang Terabaikan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dengan jelas mengamanatkan bahwa pemerintah berkewajiban memberdayakan dan melindungi ormas sebagai bagian dari sistem sosial-demokrasi.
Dalam kerangka itu, peran pemerintah seharusnya mencakup tiga fungsi utama:
1. Sebagai Regulator
Pemerintah wajib menyusun kebijakan dan peraturan yang mendorong partisipasi ormas, memberi kejelasan arah pengembangan sumber daya, dan menjamin kebebasan berorganisasi sesuai nilai Pancasila dan UUD 1945.
2. Sebagai Fasilitator
Negara semestinya menyediakan dukungan teknis dan finansial bagi ormas yang telah terbukti aktif dalam pelayanan sosial—bukan hanya kepada organisasi besar yang “dekat” dengan kekuasaan. Pendampingan, pelatihan, dan akses hibah adalah hak, bukan kemurahan hati.
3. Sebagai Dinamisator
Pemerintah idealnya menjadi penggerak—memberi motivasi, membuka ruang partisipasi, dan memberikan penghargaan atas kontribusi ormas. Namun pada praktiknya, kemitraan sering tersandera oleh politik kedekatan, koncoisme, dan nepotisme kelembagaan.
WKPUB: 27 Tahun Mengisi Kekosongan Negara
Selama 27 tahun, WKPUB telah menjalankan fungsi yang seharusnya menjadi tugas negara:
- Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan moral masyarakat.
- Melaksanakan kegiatan sosial-keagamaan lintas iman.
- Memberikan pelayanan kesehatan, bantuan ekonomi, dan kegiatan kerukunan.
- Menjembatani dialog antaragama dan memperkuat moderasi beragama.
Namun hingga kini, tak ada bentuk dukungan struktural dari pemerintah.
Tak ada dana pendampingan, tak ada program kolaboratif, bahkan tak jarang—tak ada pengakuan formal atas kiprah panjang yang telah dijalankan.
Apakah karena WKPUB bukan bagian dari lingkar kekuasaan?
Apakah negara hanya bermitra dengan ormas yang “disukai” pejabatnya?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan gugatan, tapi cermin dari luka sosial yang harus diakui bersama.

PWGI: Pers yang Beriman, Demokrasi yang Bernurani
Sebagai wadah para jurnalis gereja, PWGI berkomitmen menjadi suara moral publik—memadukan profesionalisme jurnalistik dengan nilai iman. Di tengah arus disinformasi, jurnalis PWGI menegakkan prinsip “jurnalisme Pancasila”, yaitu berita yang membangun, bukan membakar.
Namun idealisme semacam ini sulit bertahan tanpa dukungan negara. Jika pemerintah hanya memperkuat media yang berpihak secara politis, maka ruang bagi jurnalisme bermoral semakin menyempit.
PWGI menegaskan: kebebasan pers bukan sekadar hak untuk bicara, tapi tanggung jawab untuk menjaga nurani bangsa.
Kemitraan yang Setara: Negara dan Masyarakat Sipil
Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang relasinya dengan ormas.
Kemitraan yang sehat bukanlah hubungan patron-klien, tetapi sinergi sejajar yang saling menghormati. Negara membutuhkan ormas untuk menjaga kehidupan sosial yang hangat, sementara ormas membutuhkan negara untuk menyediakan ruang, sumber daya, dan regulasi yang adil.
Negara tidak boleh abai. Karena ketika pemerintah menutup mata, masyarakat sipil yang tulus justru menanggung beban kemanusiaan yang mestinya dipikul bersama.
Penutup: Dari Kritik ke Harapan
Tulisan ini bukan sekadar kritik, melainkan panggilan untuk membangun kesadaran bersama: bahwa kekuatan bangsa ini bukan pada struktur birokrasi, tetapi pada moralitas warganya yang terorganisir dalam gerakan sosial.
WKPUB dan PWGI hanyalah dua contoh kecil dari ribuan ormas yang tetap setia bekerja di bawah radar, menyalakan api kebangsaan dengan sumber daya yang minim. Mereka tidak menuntut kemewahan, hanya kehadiran negara yang adil dan konsisten.
Jika pemerintah sungguh ingin menegakkan moderasi beragama dan demokrasi yang beretika, maka dukungan terhadap ormas seperti WKPUB dan PWGI bukanlah pilihan—melainkan kewajiban moral dan konstitusional.
Karena di tangan masyarakat sipil yang beriman, demokrasi menemukan jiwa;
dan di tangan pemerintah yang mendengar, rakyat menemukan harapan.
Penulis :
- Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si. – Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI)
- Pdt. (Em.) Hosea Sudarna, M.Th. – Ketua Umum Wadah Komunikasi dan Pelayanan Umat Bersama (WKPUB)
